Kamis, 29 Oktober 2015

kurangnya minat generasi muda terhadap pertanian


KURANGNYA MINAT GENERASI MUDA TERHADAP PERTANIAN


 



OLEH:
DWI SANTOSO
(D1A114015)
PPM GANJIL

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2015



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.   Latar belakang     ...................................................................................1
B.   Rumusan maslah  ...................................................................................3
C.   Tujuan                  ...................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A.   Faktor-faktor yang mempengaruhi kurangnya
minat generasi muda terhadap pertanian...................................................4
B.   Faktor kurangnya minat calon mahasiswa
terhadap jurusan atau prodi pertanian.........................................................7
C.   solusi agar generasi muda dapat kembali memilih
sektor pertanian..........................................................................................9
BAB III PENUTUP
A.   Kesimpulan          .....................................................................................11
B.   Saran          .....................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA


C.    
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “kurangnya minat generasi muda terhadap pertanian”. Dalam makalah ini baik bentuk maupun isinya masih sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat di pergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi para pembaca.
Harapan kami semoga makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pemabaca, sehingga saya dapat memperbaiki dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak terdapat kekurangan karena pengalaman yang saya miliki masih sangat kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.


Kendari, 28 Oktober  2015

Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG

Sektor pertanian menjadi salah satu komponen pembangunan nasional dalam menuju swasembada pangan guna mengentaskan kemiskinan. Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan nasional diantaranya: sebagai penyerap tenaga kerja, menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB), sumber devisa, bahan baku industri, sumber bahan pangan dan gizi, serta pendorong bergeraknya sektor-sektor ekonomi lainya.
Di era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki keleluasaan dalam perumusan permasalahan dan kebijakan pembangunan pertanian. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi diharapkan akan mampu menjamin efisiensi dan efektifitas pelaksanaan pembangunan pertanian, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.
Di era modernisasi saat ini, kebanyakan masyarakat pasti memilih jenis pekerjaan yang memiliki prospek cerah bagi dirinya dimasa depan. Ada yang bercita-cita menjadi dokter, guru, polisi, dan lain sebagainya. Berbeda halnya dengan petani, profesi sebagai seorang petani dinilai sebagai profesi yang tidak cukup menjanjikan bagi masyarakat, sehingga sangat jarang ada orang yang benar-benar ingin menjadi seorang petani. Akibatnya, jumlah orang turun ke dunia pertanian semakin berkurang. Hal ini dapat dipahami karena secara umum banyak petani yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Diakui atau tidak, selama ini pembangunan pertanian telah mengabaikan peranan pemuda. Akibatnya, jarak antara pemuda dengan ladang-ladang pertanian semakin jauh dan proses regenerasi petanipun sulit berjalan sehingga pertanian tetap didominasi oleh generasi tua yang tentu mempunyai berbagai implikasi. Salah satu implikasinya adalah pertanian berjalan di tempat dan sulit melakukan perubahan yang mendasar. Mungkin ini salah satunya yang menyebabkan kondisi pertanian kita terus mengalami pengeroposan, renta dan ”kurang darah”.



Padahal, dengan komposisi pemuda saat ini saja yang hampir dua per tiga dari total populasi, tentu ini sebuah potensi besar yang dapat dioptimalkan untuk membangun pertanian. Apalagi selama ini kita dikenal sebagai bangsa agraris dengan dukungan iklim, sumber daya alam dan sumber daya manusia (muda) yang melimpah, tentunya sangat ironis jika kondisi pertanian kita tetap seperti saat ini. Intinya, melibatkan pemuda atau dengan kata lain menyegerakan regenerasi petani adalah suatu hal yang sangat urgen bagi bangsa agraris ini. Namun persoalannya, sejauh mana pertanian itu mampu menarik hati bagi pemuda?
Adanya kecenderungan para pemuda terutama yang tinggal di kawasan pedesaan yang kurang tertarik terhadap dunia pertanian tentu berakibat pada sektor ini hanya di dominasi oleh generasi tua yang acapkali kurang responsif terhadap perubahan. Umumnya dalam pandangan pemuda, bertani adalah pekerjaan tradisional yang kurang bergengsi dan hasilnya disamping tidak segera dapat dinikmati juga jumlahnya relatif tak memadai.


B.   RUMUSAN MASALAH
a.     Faktor-faktor yang mempengaruhi kurangnya minat generasi muda terhadap pertanian
b.     Apa saja faktor yang mempengaruhi kurangnya minat calon mahasiswa terhadap jurusan atau prodi pertanian
c.      Bagaiamana solusi-solusi agar generasi muda dapat kembali memilih sektor pertanian

C.   TUJUAN
a.     Mahasiswa dapat memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kurangnya minat generasi muda terhadap sektor pertanian
b.     Mahasiswa dapat mengetahuifaktor apa saja yang mempengaruhi kurangya minat calon mahasiswa terhadap jurusan atau prodi pertanian
c.      Mahasiswa dapat mengetahui solusi-solusi supaya generasi muda dapat kembali mengembangkan sektor pertanaian



BAB II
PEMBAHASAN
A.     Faktor-faktor kurangnya minat generasi muda terhadap perrtanian
selama ini pembangunan pertanian telah mengabaikan peranan pemuda. Akibatnya, jarak antara pemuda dengan ladang-ladang pertanian semakin jauh dan proses regenerasi petanipun sulit berjalan sehingga pertanian tetap didominasi oleh generasi tua yang tentu mempunyai berbagai implikasi. Salah satu implikasinya adalah pertanian berjalan di tempat dan sulit melakukan perubahan yang mendasar. Mungkin ini salah satunya yang menyebabkan kondisi pertanian kita terus mengalami pengeroposan, renta dan ”kurang darah”.

Padahal, dengan komposisi pemuda saat ini saja yang hampir dua per tiga dari total populasi, tentu ini sebuah potensi besar yang dapat dioptimalkan untuk membangun pertanian. Apalagi selama ini kita dikenal sebagai bangsa agraris dengan dukungan iklim, sumber daya alam dan sumber daya manusia (muda) yang melimpah, tentunya sangat ironis jika kondisi pertanian kita tetap seperti saat ini. Intinya, melibatkan pemuda atau dengan kata lain menyegerakan regenerasi petani adalah suatu hal yang sangat urgen bagi bangsa agraris ini. Namun persoalannya, sejauh mana pertanian itu mampu menarik hati bagi pemuda?
Adanya kecenderungan para pemuda terutama yang tinggal di kawasan pedesaan yang kurang tertarik terhadap dunia pertanian tentu berakibat pada sektor ini hanya di dominasi oleh generasi tua yang acapkali kurang responsif terhadap perubahan. Umumnya dalam pandangan pemuda, bertani adalah pekerjaan tradisional yang kurang bergengsi dan hasilnya disamping tidak segera dapat dinikmati juga jumlahnya relatif tak memadai.
Pandangan tersebut tentu mempengaruhi minat orang-orang muda untuk mau menjadi petani. Ini didukung oleh budaya instan dan ingin cepat menghasilkan, sementara pertanian memerlukan proses panjang, keuletan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai resiko internal dan eksternal. Ditambah lagi dengan berbagai kebijakan yang tidak pro-petani dan justru seringkali pertanian dipandang sebelah mata dan dijadikan komoditas politik tanpa mempedulikan nasib dan masa depan pertanian.
Di samping itu, kurangnya dukungan para orang tua baik secara mental maupun material terhadap anak-anak muda untuk menjadi petani, juga menjadi penyebab pemuda tak tertarik menjadi petani. Alih-alih memberikan dukungan, justru orang tua acapkali mengendorkan syaraf dan syahwat anak-anak muda yang ingin menjadi petani. Umumnya orang tua akan lebih bangga jika anak-anaknya menjadi dokter, birokrat, pilot dan profesi lainnya yang dianggap lebih prestisius. Indikasi seperti ini salah satunya dapat dilihat dari banyaknya sekolah-sekolah pertanian ataupun fakultas-fakultas pertanian, terutama di perguruan tinggi swasta, yang kondisinya kekurangan mahasiswa.
Akhirnya banyak para pemuda, terutama yang tinggal di desa, lebih tertarik pada pekerjaan-pekerjaan non-pertanian di kawasan kota-kota besar. Mereka bekerja di sektor non-pertanian semisal menjadi pegawai, buruh pabrik, buruh bangunan, jasa transportasi baik yang formal maupun non-formal, yang menurut pandangannya lebih bergengsi. Kalau mereka mempunyai keahlian spesifik, tentu hal ini bukan masalah. Namun, tak sedikit dari mereka yang tak mempunyai keahlian spesifik dan keberuntungan justru menjadi beban di kota karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan.
Penurunan jumlah tenaga kerja pertanian di Indonesia berkon- sekuensi positif dan negatif bagi pertanian. Konsekuensi positifnya: peningkatan luas lahan dan penurunan jumlah petani gurem. Hasil sensus pertanian menunjukkan rerata luas lahan petani meningkat cukup signifikan. Rerata luas lahan pertanian pada 2003 sebesar 0,35 ha menjadi 0,86 ha pada 2013. Jumlah petani gurem menurun dari 19,02 juta pada 2003 menjadi 14,25 juta pada 2013. Keadaan ini memberikan peluang bagi petani untuk meningkatkan pendapatan.
Konsekuensi negatifnya: ketahanan pangan terganggu di Indonesia. Meskipun secara kuantitas jumlah tenaga kerja di pertanian masih relatif besar, produktivitas lahan akan menurun.

Pertama, sebagian besar petani di perdesaan umumnya sudah berumur tua. Meskipun jumlah mereka besar, produktivitas mereka sudah menurun. Kegiatan pertanian tidak bisa maju karena tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi pertanian.

Kedua, keturunan petani yang memilih bekerja di luar sektor pertanian umumnya adalah keturunan petani yang berhasil. Keberhasilan mereka ditunjukkan dengan kemampuan menyekolahkan anak sampai jenjang pendidikan tinggi. Dengan pendidikan tinggi itu, anak-anak petani tidak mau lagi bertani dan memilih bekerja di sektor lain.  
Alternatif terakhirYang tetap menjadi petani akhirnya hanya mereka yang berpendidikan rendah dan kalah bersaing mendapat pekerjaan di luar sektor pertanian. Pertanian dijadikan sebagai alternatif terakhir setelah seseorang tidak bisa mendapat pekerjaan di luar sektor pertanian. Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung  kemajuan di sektor pertanian menjadi penyebab utama mereka tidak lagi mau bekerja di sektor pertanian. Keengganan ini pun didukung orangtua yang sebagian besar bercita-cita anak mereka tak bekerja di sektor pertanian.
Ketiga, kegiatan pertanian bagi sebagian besar petani dianggap sebagai pekerjaan sampingan meski mereka mengaku bekerja sebagai petani. Alokasi waktu kerja sebagian besar digunakan untuk kegiatan nir-pertanian. Pada waktu panen, petani ini akan menggarap pekerjaan di pertanian. Namun, pada waktu tertentu mereka memilih bekerja sebagai tukang bangunan, pedagang asongan, atau buruh harian di perkotaan. Pekerjaan yang tak fokus ini menjadi penyebab kurang terurusnya lahan pertanian sehingga memiliki produktivitas rendah.
Masalah regenerasi dapat menjadi hambatan utama untuk implementasi program swasembada pangan di Indonesia. Masalah ini berpangkal pada tidak kompetitifnya upah dan pendapatan di sektor pertanian. Upah tenaga kerja di perdesaan tak ada setengahnya dibandingkan dengan upah tenaga kerja nir-pertanian di daerah perkotaan.
Petani juga berhadapan dengan impor produk pertanian yang berharga lebih rendah. Tak ada perlindungan memadai terhadap kehidupan petani agar dapat bersaing dan menangkal membanjirnya produk pertanian dari luar. Petani seperti dibiarkan berjalan sendiri, bahkan subsidi bagi petani kian berkurang.
Oleh sebab itu, kebijakan yang mendukung peningkatan  kelayakan hidup bagi petani mutlak diberikan agar pertanian tetap  menjadi pekerjaan menarik, khususnya bagi generasi muda. Perlindungan terhadap petani dari produk impor, permainan harga tengkulak, ketertinggalan teknologi juga perlu dilakukan. Tanpa regenerasi yang baik, program swasembada pangan canangan Presiden hanya akan jadi wacana yang tak pernah terwujud.
B.   Faktor kurangnya minat calon mahasiswa terhadap jurusan atau prodi pertanian
Di tengah-tengah banyaknya pekerjaan rumah di sektor pertanian muncul kekurangtertarikan tenaga kerja muda terhadap sektor ini. Itu ditandai dengan menurunnya minat lulusan siswa menengah atas memilih fakultas pertanian. Apakah ini bukan ancaman bagi masa depan sektor pertanian, bahkan bagi masa depan bangsa Indonesia?
Rendahnya animo calon mahasiswa untuk memilih jurusan/program studi pertanian disebabkan oleh banyak hal, baik yang berasal dari internal institusi maupun faktor eksternal. Beberapa hal tersebut antara lain:
1.     Pertama kesan yang menunjukkan bahwa pertanian selalu berhubungan dengan rakyat kecil, petani tua yang tidak berdaya, bergelut dengan lumpur, panas, kotor, dengan penghasilan rendah dan tidak menjanjikan masa depan, tampaknya tidak mudah untuk dihilangkan. Padahal pada era teknologi seperti sekarang ini, pendidikan pertanian diarahkan untuk menghasilkan teknokrat bahkan enterpreneurship pertanian. Bidang pertanian tidak lagi sempit hanya bercocok tanam di sawah tetapi sudah sangat berkembang teknologinya seperti kultur jaringan, hidroponik, aeroponik, rekayasa genetika, teknologi publikasi pertanian dan sebagainya, yang jauh dari kesan kotor dan tak punya masa depan. Dengan demikian, ruang lingkup pekerjaan sarjana pertanian tidak hanya yang berhubungan dengan budidaya tanaman di lahan tetapi juga lembaga penelitian, instansi pemerintah, perusahaan agrobisnis, perbankan, sampai wirausaha mandiri.





2.     Kedua, publikasi tentang pertanian di berbagai media massa baik cetak maupun elektronik lebih banyak menampilkan berita tentang kegagalan pertanian seperti banjir, kekeringan, serangan hama, puso, dan sebagainya, sehingga secara tidak langsung menjadi black campaine bagi calon mahasiswa. Ketiga, adalah keberpihakan pemerintah terhadap pertanian yang masih kurang. Penurunan subsidi sarana produksi pertanian yang berimbas pada tingginya harga sarana produksi pertanian, kebijakan bebas bea fiskal bagi import hasil pertanian, kebijakan beras import, tidak adanya insentif bagi petani dan sebagainya adalah contoh kebijiakan pemerintah yang kurang berpihak pada petani yang pada akhirnya menyebabkan berbagai masalah tingkat kesejahteraan petani yang tidak beranjak naik.
Kondisi tersebut turut mempengaruhi generasi muda di desa yang beramai-ramai menjadi kaum urban, meninggalkan desa dan status petani. Anak-anak petani lebih memilih bekerja di kota yang menyebabkan kosongnya kantong-kantong pertanian potensial dan berkurangnya generasi muda potensial di pedesaan. Ini disebabkan masih membudayanya pandangan petani sebagai pekerjaan kelas dua, di samping masih sempitnya kesadaran dan pemahaman akan potensi pertanian. Hal tersebut menunjukkan bahwa daya tarik sektor pertanian di Indonesia masih lemah, sehingga banyak lulusan sarjana pertanian yang kurang tertarik terjun ke bidang tersebut, padahal lahan yang tersedia cukup luas. Hal itu terjadi karena paradigma belum berubah, seolah-olah sarjana kerjanya di instansi pemerintah. Padahal, lahan pertanian harus menjadi lokomotif ekonomi yang dapat menghela aneka keahlian lainnya, sehingga merenda pendekatan pembangunan yang sistematik.
Seperti kita ketahui Indonesia memiliki potensi sangat besar di bidang pertanian ditinjau dari ketersediaan lahan, kesesuaian iklim, tenaga kerja (melimpah), komoditas beragam, dan kekayaan hayati. Indonesia memiliki lahan luas, yang dapat dikembangkan menjadi lahan pertanian berkelanjutan. Hal tesebut didukung pula dengan iklim tropis serta banyak jenis tanaman yang dapat dikembangkan di Indonesia. Ditambah lagi dengan daerah bergunung yang cocok untuk tanaman subtropis. Komoditas pertanian menjadi beragam, seperti perkebunan, pangan, rempah dan obat, energi nabati, hortikultura (sayur, buah, flora), serta serat alam. Indonesia menjadi salah satu pemasok utama dunia, antara lain, komoditas kelapa sawit, kakao, teh, kopi, karet alam, dan rempah.
C.   Solusi-solusi agar generasi muda dapat kembali memilih sektor pertanian
Solusi untuk menumbuhkan minat dan kemauan serta merubah paradigma berpikir tentang pertanian dapat dimulai dengan membangun citra pertanian. Paradigma berpikir tentang pertanian selama ini sedikit banyak telah menurunkan citra pertanian terutama bagi pemuda. Paradigma berpikir harus kita ubah, bahwa pertanian bukan sekadar mencangkul di sawah dan menjadi petani tidak selalu identik dengan kemiskinan. Pertanian bukanlah sektor tradisional yang kurang bergengsi dan tidak memberikan nilai tambah, tetapi merupakan sektor strategis yang mampu memberikan nilai tambah yang berlipat jika dikelola secara profesional dan komersial seperti sektor-sektor lainnya. Bahkan kemajuan sektor-sektor lain sangat tergantung pada kemajuan sektor pertanian.
Untuk membangun citra pertanian, sosialisasi maupun kampanye-kampanye pertanian yang membuat generasi muda tersadar akan pentingnya pertanian dengan segala potensi yang dimilikinya. Sosialisasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media komunikasi semacam radio, televisi, surat kabar dan media publikasi lainnya.
Selanjutnya, yang perlu dilakukan adalah membuat semacam pusat pendidikan dan latihan kerja yang khusus untuk bidang pertanian. Pusat pendidikan dan latihan ini sangat diperlukan yang nantinya akan menjadi kawah candradimuka penggemblengan dan menjadi pusat mengasah keterampilan bertani pemuda maupun pusat informasi dunia pertanian terkini.
Demikian juga, adanya program pertukaran pemuda tani, sangat menarik dan perlu dilakukan. Kalau selama ini pertukaran pelajar dan mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu seringkali dilakukan, apa salahnya program pertukaran pemuda tani juga dilakukan untuk memberi kesempatan para petani-petani muda, utamanya yang tinggal di pedalaman pedesaan untuk pengembangan wawasan pertaniannya. Ini sekaligus sebagai suatu upaya untuk menampilkan wajah pertanian yang menarik bagi semua orang, khususnya orang muda di pedesaan.
Berikutnya adalah dengan menanamkan nilai-nilai spiritual-teologis dalam benak pemuda bahwa menjadi petani adalah salah satu bentuk jihad fisabilillah karena bertani adalah salah satu upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup pribadi maupun kehidupan orang lain. Bertani juga menjadi salah satu aktivitas peribadatan guna memakmurkan bumi. Bukankah di dalam kitab suci telah dijelaskan dengan tegas bahwa Allah SWT menciptakan manusia dari bumi (tanah) dan menjadikannya sebagai pemakmurnya?
Namun, yang terpenting dari hal itu semua adalah tetap diperlukan keberpihakan kebijakan yang pro-petani dan pertanian. Segala upaya di atas jika tanpa dibarengi dengan keberpihakan pembuat kebijakan tetap saja tak akan mampu menarik pemuda untuk menjadi petani.
Dengan demikian, diharapkan ke depan pertanian akan lebih menarik bagi generasi muda. Regenerasi petani pun tak akan berhenti dan profesi petani akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi kaum muda. Pemuda akan mengoptimalkan diri berpartisipasi dalam pembangunan pertanian sekaligus menjadikan pertanian sebagai tumpuan masa depan. Semoga!


BAB III
PENUTUP
A.   KESIMPULAN
Sektor pertanian menjadi salah satu komponen pembangunan nasional dalam menuju swasembada pangan guna mengentaskan kemiskinan. Pentingnya peran sektor pertanian dalam pembangunan nasional diantaranya: sebagai penyerap tenaga kerja, menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB), sumber devisa, bahan baku industri, sumber bahan pangan dan gizi, serta pendorong bergeraknya sektor-sektor ekonomi lainya.
selama ini pembangunan pertanian telah mengabaikan peranan pemuda. Akibatnya, jarak antara pemuda dengan ladang-ladang pertanian semakin jauh dan proses regenerasi petanipun sulit berjalan sehingga pertanian tetap didominasi oleh generasi tua yang tentu mempunyai berbagai implikasi. Salah satu implikasinya adalah pertanian berjalan di tempat dan sulit melakukan perubahan yang mendasar. Mungkin ini salah satunya yang menyebabkan kondisi pertanian kita terus mengalami pengeroposan, renta dan ”kurang darah”.
Adanya kecenderungan para pemuda terutama yang tinggal di kawasan pedesaan yang kurang tertarik terhadap dunia pertanian tentu berakibat pada sektor ini hanya di dominasi oleh generasi tua yang acapkali kurang responsif terhadap perubahan. Umumnya dalam pandangan pemuda, bertani adalah pekerjaan tradisional yang kurang bergengsi dan hasilnya disamping tidak segera dapat dinikmati juga jumlahnya relatif tak memadai.

B.   SARAN

Saran penulis terhadap pemerintah agar memberikan solusi supaya para generasi muda dapat mencintai kembali pertanian agar ketahanan pangan yang ditargetkan oleh pemerintah dapat tercapai. Selain itu peran dari segala lapisan masyarakat haruslah menyadari bahwa pentingnya petanian untuk berlangsungnya bangsa


DAFTAR PUSTAKA
Agroindonesia. 15 November, 2011. Mengarahkan Petani ke Off Farm. (online), (http://agroindonesia.co.id/2011/11/15/mengarahkan-petani-ke-off-farm/, dikunjungi pada tanggal 22 Oktober 2013).
Anton Apriantono. Konsep Pembangunan Pertanian, (Online), (htpp://www.deptan.go.id/renbangtan/Konsep_Pembangunan_Pertanian.pdf), diakses 28 Juli 2011
Ashari. Peranan Perbankan Nasional Dalam Pembiayaan Sektor Pertanian di Indonesia. (Online), (htpp://litbang.deptan.go.id/Ind/pdf), diakses 2 Juli 2011
Berita Unpad. 04 Desember, 2012. IAAS LC Unpad Kenalkan Dunia Pertanian dan Cinta Lingkungan pada Pelajar Sekolah Dasar. (online), (http://www.unpad.ac.id/2013/09/peringati-hari-tani-nasional-iaas-lc-unpad-perkenalkan-dunia-pertanian-ke-pelajar-sd/, dikunjungi pada tanggal 24 Oktober 2013).
Irianto, Gatot. 18 Agustus, 2010. Sudahkah Petani Merdeka?. Kompas.com. (online), (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/08/18/08402238/Sudahkah.Petani.Merdeka, dikunjungi pada tanggal 22 Agustus 2013).
JPNN.Com. 24 Maret, 2012. Sarjana Pertanian Makin Minim. (online), (http://www.jpnn.com/read/2012/03/24/121767/Sarjana-Pertanian-Makin-Minim-, dikunjungi pada tanggal 21 Oktober 2013)
Serikat Petani Indonesia. 2010. Hentikan Kebijakan Liberalisasi dan Korporatisasi Pertanian. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia. (diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013, di http://www.spi.or.id/wp-content/uploads/2010/12/2010-12-16-Catatan-Akhir-Tahun-2010.pdf).
Suara Merdeka. 11 Maret, 2012. Petani Menipis di Negeri Agraris. (online), (http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/03/11/179899/, dikunjungi pada tanggal 22 Oktober 2013).
Supanggyo. 2008. Hubungan Pemberdayaan Petani Dengan Tingkat Keberhasilan Pengembangan kawasan Agropolitan Di Kabupaten Sleman. M’POWER No. 8 Vol. 8, Oktober 2008. (diunduh pada tanggal 23 Oktober 2013, di http://pppm.pasca.uns.ac.id/wp-content/uploads/2012/09/Supanggyo.pdf).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. (Diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013, di http://riau.kemenag.go.id/file/file/produkhukum/fcpt1328331919.pdf).